Jumat, 05 Agustus 2011

Keagungan Cinta di Hari Nan Fitri

Pukul lima sore hari Pak Marwan beserta kedua anaknya Putri dan Eva telah sampai disebuah rumah mewah. Rumah itu ternyata merupakan tempat Pak Marwan berbuka puasa bersama seseorang. Mereka bertiga tampak terkagum-kagum melihat rumah mewah itu. Kedua anaknya sampai menggeleng-gelengkan kepala tanda tak percaya. Baru kali ini Rumah itu berlantai dua dengan taburan bunga warna-warni yang indah nian tertanam pembantu pemilik rumah itu. Mereka bertiga kemudian dipersilakan masuk. Betapa terkejutnya Putri melihat Jecko teman sekolahnya berada di dalam rumah itu. Belum sempat menyapa Jecko, seorang wanita paruh baya berparas anggun muncul dari salah satu ruangan.
“ Maaf ya kami datang terlambat.” Celetuk Pak Marwan meminta maaf kepada wanita itu
“ Kalian sama sekali tidak terlambat, ini belum buka puasa. Masih sepuluh menit lagi.”
Putri masih belum mengucapkan sepatah kata untuk menyapa Jecko.
“ Put ini tante cantik ini teman ayah namanya Tante Yunita. Dan ini putranya Jecko. Celetuk Pak Marwan kepada anak tertuanya.”
“ Kami sudah kenal kok Pak. Putri teman sekolah saya.”
“ Berarti kalian sudah saling kenal?”
“ Iya Tante, kami sudah kenal akrab.”
Adzan telah berkumandang. Yunita menuntun mereka menuju ruang makan. Di meja makan sudah tersaji berbagai jenis makanan yang menggoyang lidah. Bagi keluarga Pak Marwan yang tergolong ekonomi pas-pasan, makanan seperti itu merupakan makanan yang langka. Di meja makan itu pula tersaji semangkuk es krim besar untuk si kecil Eva. Yunita pun menyuapi Eva. Dengan lembut Yunita memasukkan satu per satu es krim itu ke mulut Eva. Melihat itu, ada sebersit rasa curiga di benak Putri. Entah karena apa ia merasa ada yang janggal dengan perlakuan manis Yunita itu. Sepertinya ada sesuatu yang tersembunyi dibalik acara buka bersama itu. Dan ternyata apa yang yang dia pikirkan itu benar-benar tejadi.
“ Putri, Eva sebenarnya hari ini Ayah ingin meminang Tante Yunita. Ayah yakin Tante Yunita mempunyai ketulusan kasih sayang yang sama dengan almarhum ibu kalian ”
Kata-kata itu seperti setruman listrik seribu watt yang menyambar sekujur tubuh Putri. Sangat-sangat mengejutkan. Benar-benar sulit diprecaya, bahkan benar-benar tak dapat dipercaya. Kata-kata itu sangat menyakitkan seperti duri. Duri itu kemudian masuk ke dalam pikiran Putri. Dan juga menancap tajam di dalam hati Putri. Muntahan emosinya pun meluap-luap tak terkendali. Kini sekujur tubuhnya telah dikuasai hawa jahat yang dinamakan amarah.
“ Stop Ayah! Selamanya tak pernah ada yang dapat menggantikan ibu. Dia memang kaya tapi dia tidak pernah bisa menggantikan sosok ibu di hatiku. Jangan pernah termakan mulut buaya perempuan ini Ayah! Bagiku dia tak lebih dari seorang perempuan penggoda. Bagiku semua ibu tiri itu seperti siluman rubah putih, hanya manis luarnya saja”
Sesaat suasana menjadi hening. Putri langsung berlari meninggalkan rumah itu. Pak Marwan dan Eva mengejarnya sampai lupa tak pamit pada sang pemilik rumah.
Selepas tragedi buka puasa bersama itu, Putri mengunci dirinya di kamar sepanjang malam. Ketukan pintu yang sampai menggema tak ia pedulikan. Ia sudah terlanjur sakit hati kepada ayahnya. Ia merasa ayahnya sudah dibutakan oleh harta. Harta yang mampu memalingkan cinta ayahnya terhadap ibunya. Harta yang dapat menukar kasih sayang ayahnya terhadap keluarganya. Harta yang memecah belah kehidupan harmonis keluarganya.
Duri-duri itu belum bisa lepas dari diri Putri. Bahkan semakin mendarah daging di dalam dirinya. Ia kecewa bukan main pada ayahnya. Sejak saat itu ia belum mengucapkan satu dialog pun dengan ayahnya.
***
Pagi ini begitu dingin. Angin berhembus dengan ganasnya, menggugurkan satu persatu daun pohon kersen di halaman sekolah. Sang mentari tak tampak benderang, muram dibalik awan hitam. Awan hitam itu pun seakan ingin menitikkan air matanya. Hujan seperti ingin tumpah ke permukaan bumi.
Putri berjalan dengan langkah malas menuju kelasnya. Kepalanya tertunduk lesu. Mukanya muram padam. Tak ada gairah untuk menyambut hari ini. Melihat Putri melintas di depannya, Jecko menahan langkah Putri. Menyeretnya masuk ke dalam kelasnya yang berada di sebelah kelas Putri.
“ Put aku mau ngomong sama kamu.”
“ Sudah tak ada yang perlu kita omongin lagi Jeck.”
“ Put aku Cuma mau ingin mengatakan hal ini. Jangan pernah menyebut mamaku perempuan penggoda lagi. Aku tak suka kau menyebut mamaku sehina itu.”
Putri tetap tak peduli. Ia memalingkan wajahnya dari taatpan Jecko.
“Asal kamu tahu Put. Demi gadis yang aku cintai. Aku rela melepaskan cintaku itu demi kebahagiaan mamaku.”
“ Maksud kamu apa?”
“ Sejak awal masuk SMA aku sudah jatuh hati kapadamu Put. Tapi kini aku rela jika aku tak akan pernah memilikimu sebagai kekasih. Aku rela jika akhirnya aku hanya akan menjadi kakakmu.”
Mendengar kalimat itu Putri seperti membeku di kutup selatan. Tubuhnya kaku. Lidahnya kelu. Mulutnya seakan digembok rapt-rapat. Ia tak dapat mengeluarkan kata-kata sebagai reaksi dari pernyataan cinta Jecko itu kepadanya. Ia benar-benar seperti patung di tengah-tengah hamparan gunung es. Seperti ada getaran yang melepaskan satu per satu duri di dalam hatinya. Membuka sedikit celah di hatinya yang terselimuti emosi. Jantungnya berdetak hebat berirama tak beraturan. Karena sebenarnya Putri mempunyai perasaan yang sama terhadap Jecko. Perasaan yang selama ini dipendamnya dalam-dalam. Perasaan yang selama ini tak pernah berani ia ungkapkan. Putri tak bisa lagi menyembunyikan mukanya yang merah padam. Ia berlalu dari Jecko tanpa mengeluarkan kata-kata sebagai reaksinya terhadap Jecko.
***
Awan hitam akhirnya menumpahkan hujan. Pohon kersen di halaman sekolah semakin semangat menggugurkan daunnya, menari bergoyang-goyang seolah-olah ingin tumbang. Hembusan angin semakin kencang, menembus pori-pori kulit. Membuat Putri menggigil kedinginan. Sejak hujan turun Putri selalu menghembuskan nafasnya mengarah ke kedua tangannya. Dengan sigap Jecko memasangkan jaket kulitnya ke tubuh Putri. Putri ingin melepas jaket itu dari tubuhnya, namun Jecko menghalanginya.
“ Jangan dilepas Put!”
“ Jeck aku nggak butuh jaket kamu.”
“ Sudahlah jangan banyak bicara. Hari ini kamu pulang sama aku saja. Kalo naik mobil kita nggak akan kehujanan.”
Jecko menyeret putri ke dalam mobilnya. Putri berontak, tetapi Jecko tak memperdulikannya.
Belum sampai rumah mereka berdua melihat kerumunan orang di pinggir jalan. Penasaran ingin tahu apa yang terjadi Jecko keluar dari mobilnya. Putri pun juga ikut menyusul. Mereka masuk ke dalam kerumunan itu. Betapa kaget dan terkejutnya mereka melihat seorang wanita empat puluh tahunan menangisi seorang anak kecil di pangkuannya, anak kecil itu lemah tak sadarkan diri. Wanita beserta anak kecil itu tak lain dan tak bukan adalah Yunita dan Eva.
“ Apa yang terjadi ma? Kenapa Eva bisa seperti ini.”
“ Mama juga nggak tahu Jeck. Tadi saat mama lewat, mama melihatnya berjalan sendirian di tengah hujan lebat. Waktu mama mau menghampirinya dia malah pingsan.”
“ Mungkin astmanya kambuh! Cecar Putri dengan nada panik.
“ Ya sudah kita bawa dia ke Rumah Sakit sekarang.”
Setibanya di Rumah Sakit dengan lembut Yunita mengelus-elus tangan Eva. Sesekali ia juga mengecup lembut kening Eva. Tampak gurat kekhawatiran yang tak dapat disembunyikan dari paras cantiknya. Air matanya juga terus mengalir. Melihat kasih sayang Yunita terhadap Eva, ada sesuatu yang membuat hati Putri bergetar. Tiba-tiba ia merasa seperti menemukan kembali sosok ibunya. Ada gurat penyesalan terpancar dari wajahnya.
“ Tante Yunita, maafkan saya yang telah melukai hati Tante. Saya menyesal.”
“ Sudahlah Put. Tidak ada yang perlu disesalkan, bagi Tante kamu sama sekali nggak pernah menyakiti Tante.”
“ Tante, maukah Tante menjadi ibu saya.”
Mendengar kalimat Putri itu, Pak Marwan yang berada tepat di samping Putri terkejut bukan main. Baginya ini seperti kejatuhan duren di musim nangka. Sebuah kalimat yang menuntaskan kegalauan hatinya selama ini. Benar-benar sulit dipercaya, bahkan tak dapat dipercaya.
***
Malam takbiran...
Suara bising petasan semakin membuat Pak Marwan, Yunita, Putri dan Eva keluar dari rumah megah milik Yunita. Di taman rumah ternyata Jecko sudah menyiapkan puluhan petasan dan kembang api

Tidak ada komentar:

Posting Komentar